CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

11 Juli 2009

“Dongeng Anjing Api” sebuah “Dongeng Kini Manusia Bali”

Sebuah Resensi

Judul buku : Dongeng Anjing Api
Penulis : Sindu Putra
Penerbit : Buku Arti, Denpasar, Juli 2008 (Cet. 1)
Tabal : ix + 121 halaman


Sebuah Resensi: Andika Ananda

Dalam satu peristiwa komunikasi, terjadi pemindahan monopoli pesan secara transaksional, tanpa seorang komunikator kehilangan pesan yang dikomunikasikan tersebut. Menurut Lasswell sebuah peristiwa komunikasi dapat terjadi apabila melibatkan minimal 5 elemen dasar, yaitu: who, says what, in which channel, to whom, with what effect.

Apabila kita memandang puisi sebagai sebuah peristiwa komunikasi. Puisi tidak hanya menempati posisinya sebagai sebuah media komunikasi, lebih dari itu puisi juga merupakan sebuah bentuk komunikasi intensional yang bersifat intrapersonal sekaligus interpersonal, antara penyair, puisi dan pembaca/penikmat puisi.

Berbekal wacana itulah, saya mencoba menikmati Demikian juga ketika saya membaca buku kumpulan puisi Sindu Putra. Baru kira-kira dua tahun lalu saya berkenalan dengan Bli Sindu di Bali, tahun berikutnya kami bertemu di Yogya. Dua perjumpaan singkat yang membuat kami hanya sempat untuk sekedar saling sapa, sedikit bertukar kabar dan belum sempat mengakrabkan kami. Namun kali ini saya ingin mencoba untuk mengenal dan bergaul lebih akrab dengan Bli Sindu, tidak secara langsung, tetapi melalui sebuah “dongeng anjing api’.

Tanpa bermaksud menafikan keberadaan penyairnya dan melepaskan puisi dari dimensi ekstrinsiknya. Ketika membaca puisi seseorang, bagi saya penyair sudah “tidak ada”. Seperti yang diungkapkan Bli sindu dalam puisi Batuan, “karena aku menulis puisi/maka aku tak ada”. Puisi itu sendirilah yang secara independen hadir dan berbicara langsung kepada saya secara interpersonal, sebuah interaksi antara saya dan puisi. Pertanyaannya, apakah puisi itu mampu untuk berbicara? Dan haruskah puisi itu berbicara? Bagi pembaca puisi seperti saya jelas perlu. Apalagi untuk sebuah puisi yang dimuat sebuah media atau dibukukan. Puisi bukanlah monopoli pesan penyairnya, lebih daripada itu puisi merupakan muara katarsis antara penyair, pembaca dan puisi itu sendiri secara khusyuk.

Sederhana saja, bagi pembaca puisi awam seperti saya, saya seringkali melihat dengan kacamata pragmatis, bahkan terkesan sangat simplifikatif dalam menilai dan memahami sebuah puisi. Misalnya: adakah kesan yang saya rasakan? adakah satu kata atau kalimat yang bagus dan enak untuk dibaca? adakah pesan yang dapat saya tangkap? Mampukah puisi tersebut menyentuh sisi bawah sadar saya? dsb. Walaupun kesan, bagus dan pesan bagi saya belum tentu berkesan dan bagus bagi orang lain.

Dongeng Anjing Api merupakan sebuah kumpulan puisi Sindu Putra dalam dua periode, sekaligus dua fase kreatif penyairnya di ruang dan waktu yang berbeda, antara Bali dan Lombok. Pada periode Bali (1994-2000) saya mengambil satu contoh puisi yang cukup menarik bagi saya, yaitu puisi Sarkopagus Manusia Bali (14):
Aku temukan tapak kaki
di selat yang terhapus bagi ingatan
.....dst

Nuansa Bali sudah saya dapatkan ketika saya membaca judulnya ”Sarko(p)agus Manusia Bali”. WS. Rendra pernah menulis tentang rasa bahasa, menurut Rendra bahasa daerah tidak mampu tergantikan oleh bahasa Indonesia baik secara artistik maupun estetis. Orang Bali mempunyai dialeg yang khas, selain pelafalan huruf (th), orang Bali juga punya kekhasan tersendiri dalam melafalkan hufuf f. Orang Bali kebanyakan tidak akan bisa mengucapkan film, tapi pelem atau pilem, tipi,dsb. Seperti halnya sarko(p)agus, secara sengaja Bli Sindu menggunakan sarko(p)agus, bukan sarko(f)agus. Sadar atau tidak secara dialektis Sindu telah mengeksplorasi pattern dialek Bali yang dia miliki untuk dibawa masuk ke ruang sastra modern, sehingga mampu memberikan taste, nuansa dan kekuatan tersendiri. Hal ini juga menunjukkan ikatan emosional dan dimensi personal Sindu Putra sebagai orang Bali. Pada puisi ini Bli Sindu juga seakan menawarkan varian interpretasi bagi pembaca melalui penggalan jarak (spasi) antar kata pada baris kedua puisi ini. Secara tipografis seolah menampakkan bahwa kalimat tersebut dalam rangkaian terpisah, namun setelah dibaca dan dipahami, kalimat tersebut dalam satu kesatuan makna. Jarak (spasi) antar kata, frase atau kalimat yang dibuat oleh Bli Sindu pada beberapa puisinya yang lain juga bukan sekadar kesadaran tipografis, lebih dari itu jarak antar kata, frase atau kalimat yang dibuat menawarkan dimensi imaji dan pemaknaan serta ekspresi pembacaan seluas-luasnya, walau terkadang terasa diksi melompat terlalu jauh dan menjadi sukar untuk dipahami. Dalam konteks pemaknaan dan pemahaman lebih jauh, pembaca harus benar-benar jeli dalam membaca puisi-puisi dalam buku dongeng anjing api.

Pada periode Lombok (2001-2007), saya tertarik pada puisi Ibu Kita Men Berayut (64) dan Dalam Tubuh Artupudnis (hal 69). Dalam puisi Ibu Kita Men Berayut, seolah tanpa beban Sindu Putra mempertemukan Men Brayut, Dirah dan Amba dalam satu tema besar tentang perempuan (Ibu). Dengan ringan dan lepasnya Sindu melompat dari satu gagasan dan imajinasi ke gagasan dan imajinasi yang lain, akhirnya diredusir dalam sajak Ibu Kita Men Brayut. Pada puisi ini Sindu Putra seolah melakukan tafsir ulang secara lebih universal dengan membuka dimensi perempuan (Ibu) yang diwakili oleh sosok Men Brayut, Dirah dan Amba.
Selanjutnya, ketika saya membaca puisi Dalam Tubuh Artupudnis, saya sempat terhenti dan saya ulang membaca beberapa kali pada kalimat:
.............
mereka berpesta cahaya lampu yang gelap
mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna
..............

Bli Sindu menawarkan makna yang paradoks dibalik ungkapan kalimatnya. Saya menangkap sebuah pernyataan, kepercayan diri seorang Sindu Putra melalui puisinya, kegelisahan sekaligus kritik seorang Sindu Putra pada ”penyair” dan dunianya dalam dimensi kreatif yang seluas-luasnya.

Pada beberapa puisi Bli Sindu, diksi yang dipilih sepintas terkesan verbal, karena banyak menggunakan bahasa sehari-hari namun di balik itu justru tersimpan makna simbolik yang begitu kompleks. Latar belakang akademis Sindu Putra terproyeksikan pada puisi-puisinya, kita temukan beberapa istilah ilmu pasti, seperti hujan asam, menopouze, satu tahun cahaya, kastrasi, phallus, terarium, saga, dll. Sindu putra juga sering memberikan kejutan-kejutan tak terduga lewat lompatan-lompatan diksi dan imaji, terkadang keliarannya terkesan bermain-main. Coba lihat dalam puisi Resital Seekor Burung dalam Kartu Pos dari Deventer Holland
igau iguana sarang singgah patung buaya
dongeng komodo pola migrasi penyu sisik
burung yang hidup mengerat
........

Secara umum puisi-puisi Sindu Putra dalam buku dongeng anjing api menampakkan karakter yang cukup kuat. Dengan sadar dan percaya diri Sindu Putra memilih bahasa ungkapnya dan keluar dari kecenderungan pergaulan kreatif dari beberapa gaya puisi Bali. Satu bahasa ungkap kuat yang membuat dia mampu eksis dan resisten di dunia kesusasteraan Bali dan Indonesia. Puisi-puisinya cenderung liris, namun tidak linear dan menawarkan rasa yang berbeda, bertemunya folklor Bali, idiom urban, istilah-istilah ilmu pasti, fenomena kekinian, dan berbagai dimensi kompleks lainnnya, yang akhirnya mewujud dalam sebuah Dongeng Anjing Api
Puisi-puisi Sindu Putra berbicara banyak hal pada saya.
dalam tubuh artupudnis
tuhan tak lagi menemui puisi
sepanjang sejuta tahun keheningan ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar