CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

09 Juli 2009

Komunisme dan Soviet

Ketika masa kepemimpinan Kruschev, seorang warga Soviet diajukan ke pengadilan dan didakwa dengan hukuman 25 tahun di penjara Siberia. Ia dituduh menghina ketua partai (Kruschev). Warga Soviet itu berteriak bahwa Kruschev adalah orang yang bodoh di alun-alun Kremlin.

Terdakwa protes, karena untuk kesalahan berupa penghinaan terhadap pimpinan tertinggi hukuman terberat adalah 10 tahun kerja paksa. Hakim memberi alasan, hukuman untuk penghinaan memang hanya 10 tahun. Tetapi terdakwa telah membocorkan rahasia negara jadi mendapat tambahan hukuman selama 15 tahun. Kisah ini tak benar-benar terjadi. Hanyalah anekdot politik yang dipakai untuk menggambarkan bagaimana kondisi politik Soviet.

Tentu tak berlebihan bila kita bicara Komunisme dan Soviet, kita akan bicara Karl Marx. Nabi kaum kiri. Seorang utopis penentang kelas sosial dan musuh kaum kapitalis.

Tak ada habisnya bicara Marx. Apalagi belakangan ketika teori-teori kritis laku keras di pasar intelektual. Pemikiran-pemikiran Marx banyak membius dan menginspirasi banyak orang di dunia ini. Dalam buku “Das Capital” yang disusunnya bersama F.Engel menjadi gugatan terhadap kapitalisme. Bahkan ia meramalkan bahwa kapitalisme akan hancur.

Landasan pemikiran Marx tak lepas dari gurunya, Hegel. Hegel adalah filsuf materialsme Jerman yang terkenal dengan dialektikanya. Sebagai cabang dari logika, dialektika mengajarkan tentang aturan-aturan dan cara-cara berpikir yang sehat; juga merupakan suatu cara untuk menginterpretasikan konsepsi-konsepsi secara sistematis.

Banyak orang terkadang sering terjebak dalam kerancuan persepsi mengenai komunisme dan sosialisme. Walaupun pada “Manifesto Komunis” tahun 1849 Karl Marx dan Frederich Engels menyatakan bahwa komunisme identik dengan sosialisme, pada kenyataannya terdapat hal-hal mendasar yang membedakan keduanya.

Perbedaan yang paling signifikan dari keduanya adalah mengenai metode. Sosialisme cenderung untuk mempergunakan cara yang bertahap dan tanpa kekerasan dalm mencapai tujuaannya. Sosialisme masih meyakini akan terjadinya perubahan evolutif dan cara-cara yang demokratis. Bahkan di Eropa juga berkembang sosialisme non marxis.

Dalam komunisme, pemerintahan dijalankan secara diktator proletariat. Komunisme menghendaki negara menguasai alat-alat produksi dan menyelenggarakan pembagian kekayaan negara secara merata. Dalam komunisme, partai memegang peranan mutlak dari penyelenggaraan dan kinerja negara. Partai dianggap sebagai mewakili kehendak yang riil dari rakyat.

Dalam terbentuknya sistem pers tidak dapat dilepaskan dari filsafat sosial dan kondisi sosial politik suatu negara. Sepertinya halnya di Soviet, suburnya Marxisme yang tumbuh subur menjadi komunisme, menjadi landasan mutlak untuk menjadikan komunisme juga sebagai ideologi pers Uni Soviet.

Dalam sistem pers komunisme Soviet, pers mutlak menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah. Masyarakat dan pers tidak dapat melakukan kontrol dan opsi terhadap pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini partai melakukan pengawasan yang super ketat terhadap aktivitas komunikasi massa. Bahkan tidak negara tidak segan menghalalkan segala cara untuk mereduksi dan menetralisir segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan haluan negara.

Menariknya, bagi orang-orang Rusia sendiri, pers di Uni Soviet merupakan satu-satunya pers terbebas di dunia. Sebab semua bahan baku dan pengawasan merupakan milik negara dan masyarakat dan ditempatkan di bawah negara. Sensor yang dilakukan oleh negara pada dasarnya berhubungan dengan kepentingan rakyat. Pers bukan miliki pribadi, melainkan milik masyarakat. Dengan kata lain pers bebas dari kejahatan kaum kapitalis dan partai-partai politik yang dianggap berbahaya.

Dari hal ini dapat dilihat bahwa hal apapun juga sangat mungkin akan dilihat berbeda, apabila subyek yang melihat berbeda pula. Orang-orang dari luar Soviet melihat berbagai kekurangan dari sistem komunisme Soviet, tetapi sebaliknya bagi orang-orang Rusia. Sangat mungkin ditawarkan satu analisis dan telaah resepsi antropologi untuk membaca satu fenomena tertentu.

Kebebasan Pers dan Wacana yang Bernama Modern

“Negara adalah monster paling dingin. Dengan dingi ia menipu pula; dan kebohongan ini merangkak dari mulutnya: “Aku, sang negara, adalah rakyat” (Nietzsche)

Apakah kebebasan, bila bebas hanyalah lawan dari yang terikat. Dalam pemikiran liberalisme, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Liberalisme ortodoks melihat setiap individu sebagai makhluk yang dilengkapi dan diberi hak-hak asazi yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dan pemerintah sama sekali tidak memiliki hak-hak asazi apapun. Salah satu postulat dasar ini mendasari pemikiran untuk memberikan jaminan-jaminan guna melindungi individu kebebasan warga negara secara individual terhadap kemungkinan-kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Secara konvensional dikotomistik, liberalisme dianggap sebagai antitesis dari pemikiran-pemikiran yang dianggap konservatif. Saat inilah wacana tentang modern ditasbihkan.

Sistem pers libertarian lahir pada masa ini. Masa yang dinamakan modern, masa ketika pemerintah dianggap telah merengkuh kebebasan ekspresi dan apresiasi masyarakat terhadap informasi. Kebebasan individual dipertanyakan dan digugat. Pers yang pada mulanya hanya menjadi sebuah lembaga yang melegitimasi dan melanggengkan otoritas kekuasaan dan mempersempit ruang gerak individu didobrak dengan paradigma baru berdasarkan tuntutan bagi kebebasan individu yang seluas-luasnya. Otoritas pemerintah dianggap terlalu berlebihan hingga perlu dilakukan kontrol oleh lembaga yang lebih independen dan punya posisi kuat dalam menentukan alur negara.

Pers menjadi fasilitator sekaligus mediator antara pemerintah dan rakyat. Bahkan pada titik yang lebih ekstrem pers berperan sebagai “oposisi” bagi pemerintah.

Sayangnya sistem yang bertolak dari kekurangan-kekurangan dari sistem pers otoritarian ini banyak juga memberikan celah ketimpangan-ketimpangan sub sistem di dalamnya. Kebebasan pers yang kebablasan, terjadi monopoli hegemoni dari para pemilik modal yang kadang sering juga bekerja sama dengan pemerintah, sehingga banyak terjadi persaingan yang tidak sehat, dan banyak lagi.


Pemikiran tentang Sistem Pers yang Bertanggungjawab
“Tak ada gading yang tak retak”

Tak berlebihan saya pikir kalau pepatah ini adalah pepatah sempurna untuk menyatakan bahwa tak yang sempurna di bawah matahari. Mungkin perlu kita ubah bahwa “justru karena gading yang retak itulah gajah menjadi binatang yang “sempurna”-bukan tanpa celah tentunya.

Pemikiran-pemikiran liberal yang dianggap sebagai solusi konkret mengenai masalah kebebasan dan hak-hak esensial individu, hanya sempurna pada tataran wacana.sedangkan penerapannya? Pada penerapannya peluang untuk bebas menjadi peluang untuk menerabas batas kebebasan orang lain, batas kebebasan pers dan negara.

Dari sinilah muncul pemikiran untuk mempertanyakan kembali premis “kebebasan”. Pers yang terlanjur out of control dituntut untuk melakukan self control dan bertanggung jawab kepada masyarakat, terutama daalam menjalankan fungsi komunikasi massanya.

Dalam sistem pers tanggung jawab sosial, pemerintah, pers dan masyarakat merupakan tiga elemen yang melakukan saling kontrol untuk membuat satu formulasi mengenai hak dan kewajiban, terutama perihal kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Pada dasarnya sistem ini lebih menuntut kesadaran daripada tuntutan dalam menciptakan alur komunikasi massa yang sirkular dan stabil.

Melalui pers masyarakat melakukan kontrol dan monitoring terhadap pemerintah. Pada konteks ini pers tidak semata-mata menjadi fasilitator dari segala opini dan kritik masyarakat. Melalui gatekeeping system pers membuat satu kemasan out put. Demikian pun terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam kinerjanya selain diawasi oleh pemerintah dan masyarakat, pers juga melakukan self kontrol ke dalam dengan berbagai common system yang berlaku. common system yang berlaku dibuat atas kesepakatan pemerintah, pers dan berbagai lembaga independen, misalnya organisasi wartawan, dewan pers, dll yang bertugas mengawasi aktivitas komunikasi massa pers.

Pada kenyataannya sistem ini juga memiliki banyak kekurangan. Dalam sistem ini masih juga memungkinkan terjadinya monopoli dan hegemoni dari pemilik modal, kontrol yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen berpeluang untuk melakukan tekanan-tekanan yang dapat menghambat kinerja pers, apabila penyerahan pengawasan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah, akan terjadi totalitarianisme pemerintahan.

Informasi dan Kekuasaan

Abad ini adalah abad informasi, bahkan kekuasasanpun dapat dimiliki karena legitimimasi akses informasi dan keserbaberagaman serta monopoli informasi yang dimiliki oleh seseorang. Fungsi utama informasi adalah mengurangi keraguan dari sebuah entropi (ketidakpastian).

Pro kontra tentang kebenaran Neil Armstrong mendarat pertama kali di bulan membuat Amerika seolah-olah menjadi negara yang paling maju. Atau jauh sebelumnya Columbus dipercaya sebagai penemu benua Amerika. Keduanya hanya karena sebuah informasi yang akhirnya melegitimasi mereka menjadi orang-orang penting di dunia ini.

Dalam sistem pers yang otoritarian pengawasan sekaligus pengendalian pers akan lebih mudah terkontrol, selain karena jumlah media lebih sedikit, akses media dipegang oleh arus utama, yaitu pemerintah.

Sayangnya dari sistem ini, negara mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk memonopoli informasi. Hanya terjadi keseragaman informasi yang diterima oleh masyarakat luas, itupun adalah informasi yang telah melewati proses sensor oleh pemegang otoritas kekuasaan. Arus informasi bersifat linear, karena pola stratifikasi subordinat dari pemerintah terhadap masyarakat.

Pada sistem sistem pers libertarian memungkinkan keserbaberagaman pilihan informasi, sehingga masyarakat juga mempunyai ragam pilihan untuk menentukan keinginan pemenuhan kebutuhannya akan satu informasi tertentu. Dalam hal ini sangat mungkin masyarakat mengkonsumsi lebih dari satu media karena ketidakpuasaannya dan keraguaannya yang informasi yang disajikan oleh media tertentu. Masyarakat dapat menyampaikan kritik dan pendapat terhadap pemerintah melalui akses media.

Di satu sisi pengawasan terhadap media massa secara internal melalui mekanisme redaksional dan editorial yang dilakukan oleh media itu sendiri. Sedangkan secara eksternal, terjadi tingkat kesulitan tersendiri dikarenakan jumlah dan varian media yang ada seringkali tidak sedikit. Persaingan yang terjadi di antara para pemilik modal dapat memicu terjadinya konflik yang tidak sehat. Negara tidak mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk memonopoli informasi, sebaliknya justru industri media (pemilik modal yang besar) mempunyai potensi yang besar untuk menjadi media mainstream yang dapat memonopoli suatu informasi dan denyut hidup media massa.

Pada sistem ini arus informasi bersifat memungkin bersifat linear karena posisi antara media dan masyarakat bersifat egaliter, maka terjadi semacam simbiosis yang saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Masyarakat membutuhkan informasi, media membutuhkan konsumen informasi.

Neil Amstrong bukanlah orang pertama yang pernah mendarat di bulan, karena terbukti bahwa rekaman yang selama ini kita tonton hanyalah sebuah rekayasa visual yang dibuat di Gurun Nevada. Columbus bukanlah penemu Amerika. Alasannya selain karena sudah ada orang-orang indian yang nyata-nyata adalah orang asli benua Amerika, nama Amerika sendiri diambil dari nama seorang pelaut Italia yan bernama Americo Vespucci.

Informasi dan kebenaran adalah sebuah rekayasa. Kekuasaan berada di tangan kita yang aktif mencari tahu kebenaran akan informasi dari berbagai sumber yang berbeda dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran.

Ideologi sebagai Sebuah Sistem Berpikir Masyarakat

Kompleksitas bermula dari keserhanaan. Seperti juga dengan masyarakat yang semakin hari tergiring dalam suasana kosmopolit. Dideru berbagai warna, citra dan wacana.

Berawal dari individu-individu bebas yang membentuk sebuah keluarga, kemudian berkembang menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang lebih besar. Dalam kelompok-kelompok tersebut dipilih seorang primus inter pares (orang yang pertama di antara yang sederajat) sebagai seorang pemimpin. Dari sinilah awal terbentuknya negara yang terjadi secara genootschaft (persekutuan masyarakat).

Dalam persekutuan masyarakat yang terus berkembang, berkembang pula kebudayaan sebagai sebuah sistem yang tak mungkin terlepas dari eksistensi manusia. Sebagai sebuah system, budaya lahir, tumbuh, berkembang dan mati mengikuti hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis dan kreatif. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa budaya adalah sebuah konstruksi dan kesepakatan yang referensial. Demikianpun tentunya dengan sistem sosial politik yang berlaku dan berlangsung dalam sebuah negara.

Dalam teori siklus oleh polybios dinyatakan bahwa sistem pemerintahan monarki adalah sistem pemerintahan paling tua, yang berkembang melalui sistem primus inter pares. Dalam teori tersebut digambarkan ketimpangan pada sistem monarki mengakibatkan pemerintahan yang tiran, sebagai antitesis terhadap tirani muncullah kaum cendekiawan dan aristokrat. Tak berhenti sampai di sini sistem terus berubah karena perubahan berbagai sub system di dalamnya, kontektstualitas dan relevansi.

Seringkali kita terjebak pada cara berpikir konvensional. Kita seringkali melihat dan meletakkan sesuatu dalam kerangka dikotomi mutlak. Misalnya: Hitam-putih, Utara-selatan, baik-buruk, dan sebagainya. Cara berpikir yang sering menjebak kita dalam cara berpikir yang stereotipe dan sering melupakan hal yang abu-abu.

Sebuah ideologi yang lahir pada dasarnya melihat sesuatu secara parsial, pada aspek-aspek tertentu dari kompleksitas dimensi suatu hal. Sebagai sebuah wacana, ideologi dapat lahir sebagai satu sistem berpikir yang baru atau mungkin menentang status quo yang ada. Terdapat dua ideologi besar yang sampai hari ini selalu dipertentangkan dan dianggap berlawanan, liberalisme dan sosialisme.

Liberalisme dan sosialisme membawa pada persepsi yang seringkali menganggap bahwa kedua idelogi ini mutlak bertentangan. Sebaiknya tak cukup sampai di sini dan kita setuju begitu saja. Pada tataran yang lebih obyekti, perlu dibuktikan lebih jauh dengan indikasi-indikasi yang mutlak dan lebih transparan. Bukankah konsep sebagai sesuatu yang abstrak harus dibuktikan dengan berbagai proposisi yang signifikan dan lebih konkret?


Terbentuknya Sistem Pers

Sistem bersifat hierarkis. Terbentuk atas sub-sub sistem dalam kesatuan struktur dan mekanisme yang terkait. Terbentuknya sistem pers tidak terlepas dari filsafat sosial, kondisi sosial politik, berbagai dinamika serta kompleksitas masyarakatnya.

Dalam konteks yang lebih luas sistem pers yang diterapkan dalam satu negara tertentu adalah manifestasi dan relevansi dari sistem berpikir masyarakat yang dikontruksi, diterima dan diyakini secara bersama-sama sebagai suatu hal yang ideal dan representatif.


Sistem Pers Otoritarian

Pada dasarnya otoritas berbicara tentang wewenang atas kekuasaan yang diberikan pada lembaga tertentu. Negara dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi tertinggi dari individu.

Sistem ini banyak dipakai di negara-negara yang menerapkan paham absolut Otoritarian lebih menghargai kolektivitas. Eksistensi personal individu tidak diakui sebagai manusia yang dapat berdiri sendiri tanpa orang lain.

Pada sistem ini pemerintah mempunyai otoritas dan wewenang yang kuat untuk melakukan pengawasan mutlak terhadap media. Kepemilikan media hanya oleh pemerintah atau lembaga tertentu yang ditunjuk dan diberi kepercayaan oleh pemerintah. Pemerintah juga memiliki wewenang mutlak untuk menentukan isian dan perspektif media. Dalam hal ini pers juga berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Beberapa negara yang menggunakan sistem ini antara lain Malaysia dan Arab Saudi.

Indonesia pernah menerapkan sistem ini pada era orde baru. Sangat terasa nuansa pers yang dikuasai oleh pemerintah. Banyak tayangan televisi yang sarat tendensi propaganda. Tayangan klompen capir dan laporan khusus oleh pemerintah yang sering disampaikan oleh Harmoko atau Moerdiono, dua dari sekian banyak lagi ekspresi otoriter pemerintah Soeharto.

Begitu kuatnya peran pers sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah orde baru hingga memperngaruhi konstruksi realitas berpikir masyarakat. Misalkan saja penjulukan-penjulukan oleh orde baru dan istilah-istilah populer ketika orde baru yang disosialisasikan lewat media. Misalnya: Era tinggal landas, Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat, Swasembada pangan, GPK, ekstrem kanan, ekstrem kiri, anti pancasila dan masih banyak lagi.

Tak bisa dipungkiri banyak hal positif yang berhasil disosialisasikan oleh orde baru dan banyak memberikan impuls positif bagi bangsa Indonesia. Contohnya Program KB, Transmigradi Bedol Desa, Panca Usaha Tani, VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng), Sapta Pesona, pembangunan TMII, dll.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sistem ini mempunyai ekses positif dan negatif yang berjalan beriringan sebagai dampak penerapan dari sistem pers otoritarian.


Sistem Pers Libertarian
Pada sistem ini negara berfungsi sebagai fasilitator dan individu mempunyai wewenang mutlak atas dirinya untuk memilih informasi, menyampaikan pendapat, kritik, segala keluh kesah melalui pers.

Dalam sistem ini masyarakat dan pemerintah mengakui media massa sebagai satu sistem sekaligus institusi yang independen. Setiap lembaga yang mempunyai modal dapat dengan mudah membuat satu lembaga pers. Sistem libertarian tumbuh berkembang dalam masyarakat yang cenderung rasional dan demokratis. Amerika adalah salah satu negara yang menerapkan sistem ini.

Tak bisa dipungkiri bagaimana perkembangan media di Amerika dari tahun ke tahun. Jumlah televisi kabel, koran, majalah dan tabloid dengan berbagai bentuk, kemasan dan kecenderuangan spesifik ideologi mewarnai perkembangan media massa di Amerika Serikat. Coba dilihat bagaimana majalah Time seringkali mengungkap skandal-skandal politik kelas duania. Bahkan Soeharto pernah dinominasikans sebagai salah satu koruptor sekaligus diktator oleh majalah Time. Walaupun pada akhirnya Pengacara Soerharto menuntut majalah Time.

Dari kasus Soeharto banyak pendapat yang bergulir, di satu sisi dianggap sebagai pengungkapan fakta yang berani, di satu sisi diannggap mengacuhkan sisi etis dan rasa menghormati orang lain karena penelusuran fakta dan analisis yang pragmatis karena didasarkan pada situasi politik pada saat itu, tidak lain berorientasi pada keuntungan secara materi.

Pada sistem pers ini, organisasi media dapat muncul dengan mudah, sebaliknya juga dapat tumbang dengan mudah karena kalah bersaing. Banyak juga organisasi media bisa terbawa ke arus industri yang hanya berorientasi pada keuntungan semata tanpa mempertimbangkan etika moral dan profesionalitas kerja

Keduanya sistem di atas pada dasarnya menghargai individu dan masyarakat dengan cara berbeda dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dua ideologi ini pada dasarnya berangkat dari sistem berpikir masing-masing yang pada akhirnya mempengaruhi wilayah ekspresi dan sistem lain yang terdapat dalam satu kerangka sistem yang lebih besar. Masyarakat manapun akan memilih untuk mengubah atau meninggalkan satu adat, tradisi, kebiasaan tertentu apabila dianggap sudah tidak relevan lagi. Sama halnya dengan sistem pers. Selama satu sistem masih diterima oleh masyarakatnya tentunya akan tetap langgeng sebagai sebuah sistem yang ideal, sebaliknya juga bisa terjadi jika satu sistem pers tertentu dianggap tidak memiliki relevansi.