CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

11 Juli 2009

Konstruksi Wacana tentang “Tajen” di Bali: Dilema antara Adat, Agama, Hukum dan Aset Wisata.

Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karea dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agam Hindu-Bali itu sendiri.

Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam dan tajen sebagai obyek wisata.

Dalam kegiatan upacara yadnya dalam agama Hindu-Bali dikenal istilah matatabuhan atau matabuh, yaitu, proses menaburkan lima warna zat cair. Lima warna tersebut antara lain: putih yang disimbolkan dengan tuak, kuning yang disimbolkan dengan arak, hitam yang disimbolkan dengan berem, merah yang disimbolkan dengan taburan darah binatang, dan yang terakhir brumbun yaitu dengan mencampurkan keempat warna. Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, darah merah, kelenjar empedu yang berwarna hitam dan air sebagai simbol semua warna atau brumbun. Dimana kelima tersebut harus dijaga keseimbangannya.

Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Upacara tabuh rah bersifat sakral sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian.

Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa judi tajen sudah ada dari jaman sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Bali, yaitu sebelum abad X Masehi. Namun sayangnya pendapat ini sukar dibuktikan dan dipercaya, dikarenakan kebanyakan orang di Bali lebih mempercayai bahwa tajen berasal dari tabuh rah. Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi profan dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan.

Dalam tajen, pertaruhan dianggap sebagai sesuatu yang tetap benar secara etika. Dimana konteks taruhan dan perjudian dalam tajen seolah-olah dianggap merupakan representasi nilai-nilai sosial, seperti gotong royong, saling menghormati, komunikasi sosial, simbol kesadaran kolektif dan yang terpenting tajen merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas ekonomi baik secara individu, maupun kolektivitas mabanjar. Misalnya dengan digelarnya tajen di suatu daerah, orang-orang sekitar wilayah tersebut akan mendapatkan pekerjaan atau penghasilan tambahan. Misalnya seperti kasus yang di Pura Hyang Api yang terletak di desa Klusa­, kecamatan Payangan, Kabupaten Tabanan. Setiap hari raya kuningan digelar tajen massal yang melibatkan seluruh bebotoh di Bali dan diselenggarakan selama satu bulan penuh. Walaupun diwarnai dengan taruhan uang, namun warga mengganggap ini kegiatan tersebut merupakan ritual tabuh rah, dan ritual dianggap sebagai tradisi untuk membayar kaul atau janji kepada Bhatara dan Dewa yang bersemayam di Pura Hyang Api. Kegiatan ritual ini sekaligus digunkan untuk memohon kepada Bhatara agar hewan peliharaan warga selamat. Warga mempercayai jika tditual tersebut tidak dilaksanakan maka hewan peliharaan warga akan terkena grubug atau wabah penyakit hingga mati.

Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif. Sedangkan dari perspektif agama Hindu sendiri, seperti tertera dalam weda (Manawa Dharmasastra V.45), yaitu: “Yo'himsakaani bhuutaani hinas.tyaatmasukheaschayaa. Sa jiwamsca mritascaiva na. Kvacitsukhamedhate”. Artinya: “Ia yang menyiksa makhluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.” Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yadnya. Yadnya yang dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang suci menjadi media yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu bhuana alit, yaitu jiwa kecil atau manusia dan yang lebih universal, yaitu bhuana agung atau alam semesta. Orang Bali berprinsip harus terjadi keseimbangan di antara keduanya. Lalu bagaimanakah jika sarana upacara dibiayai dari hasil pertaruhan judi.

Pada saat I Made Mangku Pastika menjadi Kapolda Bali, Beliau dengan gencar mengkampanyekan pelarangan judi tajen dengan wacana untuk menjaga kesucian pura-pura di Bali. Banyak tempat-tempat tajen ditutup paksa. Segala bentuk pelarangan tersebut banyak menimbulka pro-kontra di masyarakat, antara pihak yang mendukung dan pihak yang menolak. Namun pada akhirnya pemerintah seakan-akan menyerah pada satu alasan kepentingan yang lebih besar yaitu resistensi adat. Majalah Gong (2008:14): menurut I Made Windu seorang Pemayun Sekar Gule Pura Dalem Kedatuan, menyatakan bahwa tajen akan sulit dihapuskan karena banyak memberi keuntungan sosial dan ekonomi. Karena dari judi tajen maka dana punia untuk membantu pembangunan pura itu ada. Setiap orang yang berjudi tajen punya kewajiban untuk memberi sumbangan dana punia untuk pembangunan pura.

Tidak berhenti pada kampanye Mangku Pastika, sampai hari ini pemerintah Bali telah melakukan berbagai upaya, baik sosialisasi mengenai pengertian tajen, dampak tajen bahkan ancaman hukuman apabila terlibat dalam judi tajen. Sosialisasi yang dilakukan turut melibatkan para tokoh agama, pemuka masyarakat, dsb, namun tajen tetap ada dan terus berkembang, bahkan menjadi bagian dari wisata budaya. Karena hal itulah, maka pada tanggal 10 Januari 2002. di Gianyar Bali, sejumlah 262 bendesa adat (pemimpin desa adat dan desa pakraman di Bali) bermufakat melegalisasi tajen dengan sembilan ketentuan pokok, antara lain:1).penyelenggara tajen adalah desa adat, 2). Masing-masing desa adat boleh menyelenggarakan tajen 6 kali dalam satu tahun, 3). Setiap penyelenggaran tajen akan dipermaklumkan pada aparat kepolisian maupun pemrintah setempat, 4). Penyelenggaraan tajen diusahakan untuk tidak dirangkap dengan upacara adat. 5). Tajen tidak diadakan di lingkungan tempat suci dan lingkungan pendidikan. 6). Hanya boleh diikuti oleh remaja berusia di atas 17 tahun 7). Penyelenggara tajen diawasi oleh aparat yang berwenang, 8). Tidak ada kewajiban bagi warga untuk mengeluarkan uara (ayam aduan), 9). Harus diupayakan menanamkan bahwa tajen berbeda dengan tabuh rah. Pada praktiknya sembilan aturan pokok yang disepakati oleh 262 bendesa adat tersebut masih banyak dilanggar.

Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali, telah terjadi kerancuan berpikir (Jalaludin 2000:17):Argumentum ad Verecundiam, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada orang yang terkadang secara sepihak berusaha membenarkan paham dan kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu. Dalam kasus tajen adat dapat diindasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagai argumen bahwa tajen dapat dibenarkan. Selain itu uang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen masih ada. Di wilayah agama, uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif. Secara denotatif uang digunakan sebagai pembiayaan upacara dan sekaligus untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di banjar dan pura-pura, sedangkan secara konotatif uang digunakan sebagai sarana upakara. Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa disadari telah mengalami pergeseran makna ketika uang dijadikan alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar. Judi tajen dianggap sah dan dipertahankan karena dianggap penting dalam rangkaian ritus agama dan ritus sosial.

Kedua hal di atas, yaitu antara makna hakiki upacara adat di Bali dan pola pergeseran makna yang terjadi pada kasus tajen pada kenyatannya saling berintegrasi dan secara konkret sulit dipisahkan. Pergeseran makna yang terjadi sudah terlanjur terinternalisasi dalam kesadaran intelektual dan perasaan orang Bali. Tanpa disadari pergeseran makan tersebut “mencengkeram masyarakat Bali”, tentunya masyarakat Bali yang menyetujui dan mempertahankan adanya tajen. Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara tabuh rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa disadari mereka menjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali. Sebuah harmonisasi antara bhuana agung dan bhuana alit, upakara suci untuk upacara suci, upacara suci untuk menjaga realitas ambang antara yang abstrak dan yang nyata. Antara nilai adat, Agama hukum positif dan kepentingan industri pariwisata.

Catatan:
· Arak:jenis minuman keras khas Bali
· Bebotoh: penjudi (baik sabung ayam maupu penjudi yang lain)
· Bhuana agung: jagat raya
· Bhuana alit: alam kecil, diri manusia
· Bhuta yadnya: upacara persembahan berupa korban suci yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk membersihkan alam semesta beserta isinya dari gangguan dan pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh makhluk halus yang jahat
· Berem:air tapai
· Brumbun: warna kombinasi yang terdiri atas bagian-bagian putih, kuning, merah dan hitam
· Mabanjar: bekerja bersama seluruh anggota banjar untuk kepentingan social, yaitu secara bergotong royong.
· Macaru: mempersembahkan kurban
· Matabuh atau metatabuhan: menuangkan cairan (arak, nira, berem, dsb) untuk upaca bhuta yadnya
· Pura: tempat persembahyangan atau peribadatan bagi orang Hindu
· Tajen: sabung ayam
· Taji: pisau kecil bermata dua, dipasang di kaki ayam jago yang disabung
· Tilem: bulan mati
· Tuak:air nira
· Sapih: berakhir seri
· Upakara: sajen
· Yadnya: korban suci, upakara



Sumber:
Bing, Agus, dkk. “Uang dan Upacara Adat”, Majalah Gong, Edisi 101/IX, 2008.
Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Sejarah Bali. Denpasar: Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bali- Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar. 2005
Rahmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial. Bandung; Rosda, 2000.
Yuga, Ibed Surgana. Bali Tanpa Bali. Denpasar: Panakom, 2008.
http//www.beritabali.com
http//www.ilove blue.com

Yogyakarta 02.15 dini hari

Sastra dan seni pada umumnya adalah wilayah intelektual untuk mengungkap atau bahkan menjawab realitas sosial dalam satu relevansi simbolik.
Disadari atau tidak kita telah terjebak dalam satu pencitraan yang senantiasa menempatkan ilmu eksakta pada strata yang lebih tinggi, seolah-olah wilayah intelektual hanya melekat pada orang-orang yang pandai berhitung dengan rumus-rumus ilmu pasti yang cukup rumit. Seolah-olah Dharwin, Newton, Einstein adalah orang-orang yang paling berjasa pada evolusi peradaban umat manusia. Dimanakah posisi seni?
Walmiki merubah dunia dengan kisah Ramayana, Sopochles dengan trilogi Oidipus, Wyasa dengan Mahabarata, Shakespare dengan Romeo&Juliet. Muncul pertanyaan kembali perubahan apakah yang mereka lakukan. Hakikat kemanusiaan.
Seni hadir tidak boleh terjebak pada wilayah-wilayah pragmatis dan verbal, seni adalah wilayah intelektual dalam wilayah pertaruhan dan pertarungan simbolik yang sangat kompleks.....................................(ngantuk tenan)

“Dongeng Anjing Api” sebuah “Dongeng Kini Manusia Bali”

Sebuah Resensi

Judul buku : Dongeng Anjing Api
Penulis : Sindu Putra
Penerbit : Buku Arti, Denpasar, Juli 2008 (Cet. 1)
Tabal : ix + 121 halaman


Sebuah Resensi: Andika Ananda

Dalam satu peristiwa komunikasi, terjadi pemindahan monopoli pesan secara transaksional, tanpa seorang komunikator kehilangan pesan yang dikomunikasikan tersebut. Menurut Lasswell sebuah peristiwa komunikasi dapat terjadi apabila melibatkan minimal 5 elemen dasar, yaitu: who, says what, in which channel, to whom, with what effect.

Apabila kita memandang puisi sebagai sebuah peristiwa komunikasi. Puisi tidak hanya menempati posisinya sebagai sebuah media komunikasi, lebih dari itu puisi juga merupakan sebuah bentuk komunikasi intensional yang bersifat intrapersonal sekaligus interpersonal, antara penyair, puisi dan pembaca/penikmat puisi.

Berbekal wacana itulah, saya mencoba menikmati Demikian juga ketika saya membaca buku kumpulan puisi Sindu Putra. Baru kira-kira dua tahun lalu saya berkenalan dengan Bli Sindu di Bali, tahun berikutnya kami bertemu di Yogya. Dua perjumpaan singkat yang membuat kami hanya sempat untuk sekedar saling sapa, sedikit bertukar kabar dan belum sempat mengakrabkan kami. Namun kali ini saya ingin mencoba untuk mengenal dan bergaul lebih akrab dengan Bli Sindu, tidak secara langsung, tetapi melalui sebuah “dongeng anjing api’.

Tanpa bermaksud menafikan keberadaan penyairnya dan melepaskan puisi dari dimensi ekstrinsiknya. Ketika membaca puisi seseorang, bagi saya penyair sudah “tidak ada”. Seperti yang diungkapkan Bli sindu dalam puisi Batuan, “karena aku menulis puisi/maka aku tak ada”. Puisi itu sendirilah yang secara independen hadir dan berbicara langsung kepada saya secara interpersonal, sebuah interaksi antara saya dan puisi. Pertanyaannya, apakah puisi itu mampu untuk berbicara? Dan haruskah puisi itu berbicara? Bagi pembaca puisi seperti saya jelas perlu. Apalagi untuk sebuah puisi yang dimuat sebuah media atau dibukukan. Puisi bukanlah monopoli pesan penyairnya, lebih daripada itu puisi merupakan muara katarsis antara penyair, pembaca dan puisi itu sendiri secara khusyuk.

Sederhana saja, bagi pembaca puisi awam seperti saya, saya seringkali melihat dengan kacamata pragmatis, bahkan terkesan sangat simplifikatif dalam menilai dan memahami sebuah puisi. Misalnya: adakah kesan yang saya rasakan? adakah satu kata atau kalimat yang bagus dan enak untuk dibaca? adakah pesan yang dapat saya tangkap? Mampukah puisi tersebut menyentuh sisi bawah sadar saya? dsb. Walaupun kesan, bagus dan pesan bagi saya belum tentu berkesan dan bagus bagi orang lain.

Dongeng Anjing Api merupakan sebuah kumpulan puisi Sindu Putra dalam dua periode, sekaligus dua fase kreatif penyairnya di ruang dan waktu yang berbeda, antara Bali dan Lombok. Pada periode Bali (1994-2000) saya mengambil satu contoh puisi yang cukup menarik bagi saya, yaitu puisi Sarkopagus Manusia Bali (14):
Aku temukan tapak kaki
di selat yang terhapus bagi ingatan
.....dst

Nuansa Bali sudah saya dapatkan ketika saya membaca judulnya ”Sarko(p)agus Manusia Bali”. WS. Rendra pernah menulis tentang rasa bahasa, menurut Rendra bahasa daerah tidak mampu tergantikan oleh bahasa Indonesia baik secara artistik maupun estetis. Orang Bali mempunyai dialeg yang khas, selain pelafalan huruf (th), orang Bali juga punya kekhasan tersendiri dalam melafalkan hufuf f. Orang Bali kebanyakan tidak akan bisa mengucapkan film, tapi pelem atau pilem, tipi,dsb. Seperti halnya sarko(p)agus, secara sengaja Bli Sindu menggunakan sarko(p)agus, bukan sarko(f)agus. Sadar atau tidak secara dialektis Sindu telah mengeksplorasi pattern dialek Bali yang dia miliki untuk dibawa masuk ke ruang sastra modern, sehingga mampu memberikan taste, nuansa dan kekuatan tersendiri. Hal ini juga menunjukkan ikatan emosional dan dimensi personal Sindu Putra sebagai orang Bali. Pada puisi ini Bli Sindu juga seakan menawarkan varian interpretasi bagi pembaca melalui penggalan jarak (spasi) antar kata pada baris kedua puisi ini. Secara tipografis seolah menampakkan bahwa kalimat tersebut dalam rangkaian terpisah, namun setelah dibaca dan dipahami, kalimat tersebut dalam satu kesatuan makna. Jarak (spasi) antar kata, frase atau kalimat yang dibuat oleh Bli Sindu pada beberapa puisinya yang lain juga bukan sekadar kesadaran tipografis, lebih dari itu jarak antar kata, frase atau kalimat yang dibuat menawarkan dimensi imaji dan pemaknaan serta ekspresi pembacaan seluas-luasnya, walau terkadang terasa diksi melompat terlalu jauh dan menjadi sukar untuk dipahami. Dalam konteks pemaknaan dan pemahaman lebih jauh, pembaca harus benar-benar jeli dalam membaca puisi-puisi dalam buku dongeng anjing api.

Pada periode Lombok (2001-2007), saya tertarik pada puisi Ibu Kita Men Berayut (64) dan Dalam Tubuh Artupudnis (hal 69). Dalam puisi Ibu Kita Men Berayut, seolah tanpa beban Sindu Putra mempertemukan Men Brayut, Dirah dan Amba dalam satu tema besar tentang perempuan (Ibu). Dengan ringan dan lepasnya Sindu melompat dari satu gagasan dan imajinasi ke gagasan dan imajinasi yang lain, akhirnya diredusir dalam sajak Ibu Kita Men Brayut. Pada puisi ini Sindu Putra seolah melakukan tafsir ulang secara lebih universal dengan membuka dimensi perempuan (Ibu) yang diwakili oleh sosok Men Brayut, Dirah dan Amba.
Selanjutnya, ketika saya membaca puisi Dalam Tubuh Artupudnis, saya sempat terhenti dan saya ulang membaca beberapa kali pada kalimat:
.............
mereka berpesta cahaya lampu yang gelap
mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna
..............

Bli Sindu menawarkan makna yang paradoks dibalik ungkapan kalimatnya. Saya menangkap sebuah pernyataan, kepercayan diri seorang Sindu Putra melalui puisinya, kegelisahan sekaligus kritik seorang Sindu Putra pada ”penyair” dan dunianya dalam dimensi kreatif yang seluas-luasnya.

Pada beberapa puisi Bli Sindu, diksi yang dipilih sepintas terkesan verbal, karena banyak menggunakan bahasa sehari-hari namun di balik itu justru tersimpan makna simbolik yang begitu kompleks. Latar belakang akademis Sindu Putra terproyeksikan pada puisi-puisinya, kita temukan beberapa istilah ilmu pasti, seperti hujan asam, menopouze, satu tahun cahaya, kastrasi, phallus, terarium, saga, dll. Sindu putra juga sering memberikan kejutan-kejutan tak terduga lewat lompatan-lompatan diksi dan imaji, terkadang keliarannya terkesan bermain-main. Coba lihat dalam puisi Resital Seekor Burung dalam Kartu Pos dari Deventer Holland
igau iguana sarang singgah patung buaya
dongeng komodo pola migrasi penyu sisik
burung yang hidup mengerat
........

Secara umum puisi-puisi Sindu Putra dalam buku dongeng anjing api menampakkan karakter yang cukup kuat. Dengan sadar dan percaya diri Sindu Putra memilih bahasa ungkapnya dan keluar dari kecenderungan pergaulan kreatif dari beberapa gaya puisi Bali. Satu bahasa ungkap kuat yang membuat dia mampu eksis dan resisten di dunia kesusasteraan Bali dan Indonesia. Puisi-puisinya cenderung liris, namun tidak linear dan menawarkan rasa yang berbeda, bertemunya folklor Bali, idiom urban, istilah-istilah ilmu pasti, fenomena kekinian, dan berbagai dimensi kompleks lainnnya, yang akhirnya mewujud dalam sebuah Dongeng Anjing Api
Puisi-puisi Sindu Putra berbicara banyak hal pada saya.
dalam tubuh artupudnis
tuhan tak lagi menemui puisi
sepanjang sejuta tahun keheningan ini