CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

09 Juli 2009

Kebebasan Pers dan Wacana yang Bernama Modern

“Negara adalah monster paling dingin. Dengan dingi ia menipu pula; dan kebohongan ini merangkak dari mulutnya: “Aku, sang negara, adalah rakyat” (Nietzsche)

Apakah kebebasan, bila bebas hanyalah lawan dari yang terikat. Dalam pemikiran liberalisme, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Liberalisme ortodoks melihat setiap individu sebagai makhluk yang dilengkapi dan diberi hak-hak asazi yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dan pemerintah sama sekali tidak memiliki hak-hak asazi apapun. Salah satu postulat dasar ini mendasari pemikiran untuk memberikan jaminan-jaminan guna melindungi individu kebebasan warga negara secara individual terhadap kemungkinan-kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Secara konvensional dikotomistik, liberalisme dianggap sebagai antitesis dari pemikiran-pemikiran yang dianggap konservatif. Saat inilah wacana tentang modern ditasbihkan.

Sistem pers libertarian lahir pada masa ini. Masa yang dinamakan modern, masa ketika pemerintah dianggap telah merengkuh kebebasan ekspresi dan apresiasi masyarakat terhadap informasi. Kebebasan individual dipertanyakan dan digugat. Pers yang pada mulanya hanya menjadi sebuah lembaga yang melegitimasi dan melanggengkan otoritas kekuasaan dan mempersempit ruang gerak individu didobrak dengan paradigma baru berdasarkan tuntutan bagi kebebasan individu yang seluas-luasnya. Otoritas pemerintah dianggap terlalu berlebihan hingga perlu dilakukan kontrol oleh lembaga yang lebih independen dan punya posisi kuat dalam menentukan alur negara.

Pers menjadi fasilitator sekaligus mediator antara pemerintah dan rakyat. Bahkan pada titik yang lebih ekstrem pers berperan sebagai “oposisi” bagi pemerintah.

Sayangnya sistem yang bertolak dari kekurangan-kekurangan dari sistem pers otoritarian ini banyak juga memberikan celah ketimpangan-ketimpangan sub sistem di dalamnya. Kebebasan pers yang kebablasan, terjadi monopoli hegemoni dari para pemilik modal yang kadang sering juga bekerja sama dengan pemerintah, sehingga banyak terjadi persaingan yang tidak sehat, dan banyak lagi.


Pemikiran tentang Sistem Pers yang Bertanggungjawab
“Tak ada gading yang tak retak”

Tak berlebihan saya pikir kalau pepatah ini adalah pepatah sempurna untuk menyatakan bahwa tak yang sempurna di bawah matahari. Mungkin perlu kita ubah bahwa “justru karena gading yang retak itulah gajah menjadi binatang yang “sempurna”-bukan tanpa celah tentunya.

Pemikiran-pemikiran liberal yang dianggap sebagai solusi konkret mengenai masalah kebebasan dan hak-hak esensial individu, hanya sempurna pada tataran wacana.sedangkan penerapannya? Pada penerapannya peluang untuk bebas menjadi peluang untuk menerabas batas kebebasan orang lain, batas kebebasan pers dan negara.

Dari sinilah muncul pemikiran untuk mempertanyakan kembali premis “kebebasan”. Pers yang terlanjur out of control dituntut untuk melakukan self control dan bertanggung jawab kepada masyarakat, terutama daalam menjalankan fungsi komunikasi massanya.

Dalam sistem pers tanggung jawab sosial, pemerintah, pers dan masyarakat merupakan tiga elemen yang melakukan saling kontrol untuk membuat satu formulasi mengenai hak dan kewajiban, terutama perihal kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Pada dasarnya sistem ini lebih menuntut kesadaran daripada tuntutan dalam menciptakan alur komunikasi massa yang sirkular dan stabil.

Melalui pers masyarakat melakukan kontrol dan monitoring terhadap pemerintah. Pada konteks ini pers tidak semata-mata menjadi fasilitator dari segala opini dan kritik masyarakat. Melalui gatekeeping system pers membuat satu kemasan out put. Demikian pun terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam kinerjanya selain diawasi oleh pemerintah dan masyarakat, pers juga melakukan self kontrol ke dalam dengan berbagai common system yang berlaku. common system yang berlaku dibuat atas kesepakatan pemerintah, pers dan berbagai lembaga independen, misalnya organisasi wartawan, dewan pers, dll yang bertugas mengawasi aktivitas komunikasi massa pers.

Pada kenyataannya sistem ini juga memiliki banyak kekurangan. Dalam sistem ini masih juga memungkinkan terjadinya monopoli dan hegemoni dari pemilik modal, kontrol yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen berpeluang untuk melakukan tekanan-tekanan yang dapat menghambat kinerja pers, apabila penyerahan pengawasan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah, akan terjadi totalitarianisme pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar